Pernahkah terlintas di benak kita sebuah pertanyaan dilematis: “Sebenarnya, lebih penting nyawa gajah atau kebutuhan manusia?”
Pertanyaan ini menjadi sangat relevan ketika kita melihat apa yang terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau. Wilayah yang dulunya dikenal sebagai salah satu hutan dataran rendah terkaya di Asia Tenggara, kini sedang “sekarat”. Lebih dari dua dekade, kawasan konservasi ini digerogoti. Hutan seluas lebih dari 40.000 hektare telah berubah fungsi menjadi kebun sawit ilegal dan permukiman liar.
Akibatnya, perlahan tapi pasti, gajah kehilangan rumahnya.

Tragedi di Balik Rimbun Sawit
Ketika habitat mereka dirampas, gajah terpaksa masuk ke kebun warga mencari makan. Di sinilah mereka sering dianggap sebagai “hama”.
Kenyataan di lapangan sangat memilukan. Gajah-gajah ini diusir, diracun, hingga dijerat. Anak gajah harus terpisah dari induknya, bahkan mati dalam kondisi mengenaskan. Data BBKSDA Riau mencatat, sejak tahun 2015 hingga Juni 2025, terdapat 23 ekor gajah mati di kawasan TNTN akibat keracunan, jerat, konflik, hingga penyakit. Lebih mengerikan lagi, belum lama ini ditemukan ranjau yang dipasang di wilayah taman nasional tersebut.

Gajah: Sang “Insinyur” Hutan
Mengapa kita harus peduli? Mengapa gajah begitu penting?
Gajah bukan sekadar penghuni hutan raksasa. Mereka adalah “Engineer Hutan” atau arsitek alam. Peran mereka tak tergantikan:
- Penyebar Biji: Gajah menyebarkan biji dari puluhan jenis pohon melalui kotorannya sambil berkelana.
- Membuka Jalur: Tubuh besar mereka membuka jalan bagi sinar matahari menembus dasar hutan, membantu tanaman kecil tumbuh.
- Regenerasi Alami: Tanpa gajah, hutan kehilangan “mesin” perbaikan alaminya.
Jika gajah punah, hutan akan mati perlahan. Dan disinilah manusia mulai terdampak.

Manusia Tidak Bisa Selamat Tanpa Hutan
Hancurnya hutan bukan hanya masalah bagi satwa, tapi bencana bagi manusia. Tanpa hutan yang sehat—yang dijaga oleh gajah—kita menghadapi ancaman nyata: panas ekstrem, udara kotor, banjir besar, kekeringan, hingga lonjakan biaya kesehatan.
Jadi, pertanyaannya bukan lagi “Lebih penting gajah atau manusia?”
Tetapi: “Bisakah manusia selamat tanpa hutan yang dijaga oleh gajah?”

Hutan yang Tersisa Semakin Sempit
Pemerintah telah berupaya keras. Pada periode Mei-Juli 2025, sebanyak 775 hektare kebun sawit ilegal di dalam kawasan Tesso Nilo telah dibongkar untuk menyelamatkan habitat.
Namun, data terbaru menunjukkan kondisi yang kritis. Dari total luas awal 81.793 hektare, kini hutan alami yang tersisa hanya 12.561 hektare. Sebagian besar telah berubah menjadi kebun, permukiman, atau lahan rusak.
Artinya, rumah bagi satwa makin menyempit. Bukan hanya gajah, Tesso Nilo adalah rumah bagi Harimau Sumatera, Tapir, Owa, Rusa, Kijang, hingga Beruang Madu. Jika habitat mereka hilang, mereka kehilangan tempat tinggal, makanan, dan pasangan hidup. Kepunahan ada di depan mata.
Jika satwa Tesso Nilo hilang, keseimbangan alam ikut runtuh. Dan pada akhirnya, manusialah yang akan menanggung akibat terberatnya.
Mari bantu sebarkan awareness ini. Melindungi gajah dan Tesso Nilo bukan hanya soal menyelamatkan satwa, tapi soal menyelamatkan masa depan kita sendiri.