Menerima kelahiran buah hati adalah kebahagiaan tak terkira bagi setiap orang tua. Namun, terkadang ada kondisi medis yang membuat perjalanan ini penuh tantangan. Salah satunya adalah atresia ani, atau sering disebut sebagai kondisi anak lahir tanpa anus. Ini adalah kelainan bawaan yang terjadi ketika rektum (bagian akhir usus besar) tidak terhubung dengan anus, atau anus sama sekali tidak terbentuk. Akibatnya, bayi tidak dapat buang air besar secara normal.
Apa Itu Atresia Ani?
Atresia ani adalah cacat lahir di mana saluran pencernaan bayi tidak berkembang sempurna. Ini berarti ada masalah pada akhir usus besar atau anus, yang seharusnya berfungsi sebagai saluran pembuangan feses dari tubuh. Kondisi ini bervariasi tingkat keparahannya, mulai dari lubang anus yang sangat sempit hingga anus yang sama sekali tidak terbentuk.
Gejala atresia ani biasanya langsung terlihat setelah lahir, meliputi:
- Tidak ada lubang anus.
- Feses tidak keluar dalam 24-48 jam setelah lahir.
- Perut kembung atau bengkak.
- Muntah.
- Feses keluar melalui lubang lain (misalnya ke saluran kemih atau vagina pada bayi perempuan), yang disebut fistula.
Penyebab pasti atresia ani belum diketahui, namun diduga melibatkan kombinasi faktor genetik dan lingkungan selama kehamilan.
Kisah Ridzwan: Perjuangan Melawan Atresia Ani Sejak Lahir
Kisah Ridzwan, seorang bayi berusia 6 bulan dari Kabupaten Bandung Barat, adalah gambaran nyata betapa beratnya perjuangan yang dihadapi keluarga dengan anak penderita atresia ani. Sejak lahir, Ridzwan harus buang air besar melalui perutnya karena kondisi tanpa anus yang dialaminya.
Tim medis telah berupaya melakukan penanganan. Namun, pasca operasi kedua, kondisi Ridzwan justru memburuk. Ususnya terburai keluar dari perut, menambah keprihatinan dan kesulitan dalam perawatannya. Hingga usianya yang keenam bulan ini, kelainan yang dialami Ridzwan belum juga sembuh. Ia masih memerlukan operasi lanjutan dan harus dirujuk ke rumah sakit besar di kota untuk mendapatkan penanganan yang lebih komprehensif.
Sayangnya, niat baik untuk melanjutkan pengobatan Ridzwan terhambat oleh kendala biaya. Meskipun biaya medisnya sebagian besar ditanggung oleh BPJS, kedua orang tua Ridzwan masih menghadapi kesulitan besar untuk menutupi biaya transportasi dan akomodasi yang diperlukan saat bolak-balik ke rumah sakit di kota. Ayah Ridzwan, yang hanya berpenghasilan sekitar 25 ribu rupiah per hari dari berjualan es dawet, merasa uang tersebut jauh dari cukup untuk membiayai kebutuhan pengobatan Ridzwan yang terus-menerus.
Pentingnya Penanganan dan Dukungan Komunitas
Kisah Ridzwan menggarisbawahi pentingnya deteksi dini dan penanganan medis yang berkelanjutan bagi bayi dengan atresia ani. Penanganan umumnya melibatkan operasi untuk membuat saluran pembuangan feses yang berfungsi. Namun, seringkali dibutuhkan beberapa tahapan operasi dan perawatan pasca-operasi yang intensif.
Dukungan dari keluarga, komunitas, dan pemerintah sangat krusial dalam membantu keluarga seperti Ridzwan untuk dapat mengakses layanan kesehatan yang dibutuhkan.