Dampak bullying pada anak meninggalkan luka yang bukan hanya fisik, tetapi juga psikologis, yang dapat membekas seumur hidup. Bullying dapat berbentuk verbal (ejekan, hinaan), fisik, sosial (pengucilan, fitnah), dan cyber (perundungan di platform sosial media).
Data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FGSI) menunjukkan peningkatan kasus bullying di satuan pendidikan, dari 21 kasus di tahun 2022 menjadi 30 kasus di tahun 2023 (seperti yang dilansir dari UMS.ac.id). Hal ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan penanganan bullying harus terus ditingkatkan. FGSI mengungkapkan bahwa dari 16 kasus perundungan di satuan pendidikan, mayoritas terjadi di jenjang pendidikan SD (25 persen) dan SMP (25 persen).
Seperti yang dilansir dari Liputan6.com, bullying merupakan segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan dengan sengaja oleh seseorang atau kelompok. Tindakan bullying biasanya dilakukan oleh orang yang dinilai lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain.
Dilansir dari website Universitas Muhammadiyah Surakarta, Hasil riset Kemendikbudristek tahun 2022 terdapat 36,31% siswa berpotensi mengalami bullying, baik verbal, fisik, maupun cyber. Tetapi ironisnya, hanya 13,54% yang berani melapor.
Dampak Buruk Bullying
Dilansir dari klikdokter.com, Dampak bullying pada anak sangatlah luas dan merusak. Korban bullying dapat mengalami:
-
Masalah Kesehatan Mental:
Kecemasan, depresi, rendah diri, sulit tidur, bahkan pikiran untuk bunuh diri.
-
Masalah Akademik:
Penurunan prestasi, sulit berkonsentrasi, sering absen sekolah.
-
Masalah Sosial:
Sulit mempercayai orang lain, menarik diri dari pergaulan, kesulitan membangun hubungan.
-
Masalah Fisik:
Luka fisik akibat kekerasan, gangguan makan, gangguan tidur.
Kisah Rafly: Sebuah Contoh Nyata Dampak Buruk Bullying
Kisah pilu Rafly, seorang anak berusia 10 tahun dari Kabupaten Bandung, adalah salah satu contoh nyata betapa kejamnya dampak bullying. Ia tak hanya menerima perundungan verbal, tetapi juga fisik, yang puncaknya mengakibatkan kerusakan pada matanya. Bola matanya pecah akibat pukulan teman sebayanya.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Rafly tak hanya menahan sakit fisik, tetapi juga trauma mendalam. Ia takut untuk bermain di luar, bahkan untuk bersekolah, karena khawatir akan kembali menjadi sasaran bullying. Impiannya untuk melihat dunia dengan jelas kini terancam pupus karena keterbatasan biaya untuk operasi.
Kisah Rafly menggambarkan betapa pentingnya peran kita semua dalam mencegah dan menanggulangi bullying.
Peran Kita Semua dalam Mencegah dan Menanggulangi Bullying
Upaya pencegahan dan penanggulangan bullying membutuhkan pendekatan yang komprehensif serta melibatkan berbagai pihak. Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Kita bisa melakukan perubahan dimulai dari diri kita sendiri. Berikut adalah aksi nyata yang dapat diambil oleh orang tua, guru, dan anak-anak untuk mencegah dan menanggulangi bullying di lingkungan sekitar:
-
Peran Orang Tua:
- Membangun komunikasi yang terbuka dan jujur dengan anak.
- Mengamati perubahan perilaku anak dan segera bertindak jika ada indikasi melakukan atau korban bullying.
- Mengajarkan anak tentang empati dan menghormati perbedaan.
- Bekerja sama dengan pihak sekolah dengan rutin berkomunikasi dengan guru untuk mengecek keadaan anaknya
-
Peran Guru:
- Mengajarkan siswa tentang konsekuensi bullying dan pentingnya menghormati sesama.
- Menangani kasus bullying dengan serius dan memberikan dukungan kepada korban.
- Mengadakan kegiatan rutin anti-bullying, misalnya 1 tahun dua kali, dan melibatkan siswa dalam kegiatan tersebut.
-
Peran Anak-Anak atau Siswa:
- Berani melaporkan jika melihat atau mengalami bullying.
- Menolak untuk ikut-ikutan melakukan bullying.
- Mendukung dan membantu teman yang menjadi korban bullying.